STIFIn: Bukan Pembenaran Atas Kekurangan Diri

Beberapa tahun terakhir ini, saya berkesempatan mempelajari ilmu pengembangan diri yang dikenal sebagai STIFIn. Pertemuan pertama saya dengan STIFIn terjadi saat mengikuti TFT 1 bersama Pak Jamil Azzaini di Jogja tahun 2009, sebuah momen penting dalam hidup saya. Saya merasa menemukan “missing puzzle” dalam hidup saya, memudahkan saya menemukan jalur terbaik kehidupan. Pengalaman ini membuat saya beralih dari dunia desain bangunan ke dunia desain kehidupan.

Seiring waktu, selain mendapatkan pengetahuan yang lebih luas, saya juga berkenalan dengan banyak teman baru yang sebagian besar menjadi seperti saudara. Namun, sayangnya, tidak ada yang menjadi istri saya. #eh #kode.

Beberapa hari lalu, saya terlibat dalam perbincangan seru dengan seorang sahabat lama. Walaupun sudah kenal lama, baru kali ini kami benar-benar berbincang. Dalam percakapan itu, sahabat saya menyampaikan pendapatnya tentang status-status saya di Facebook, terutama pada musim pilpres lalu. Penjelasan Pak Farid Poniman tentang Karakter Mesin Kecerdasan Insting terlintas di benak saya, menggambarkan diri saya dengan segala kekurangan. Saya sangat responsif, temperamental, dan sering berubah-ubah suasana hati.

Setelah mendengarkan cerita sahabat saya, saya tersadar bahwa meskipun sudah belajar STIFIn sejak 2009, perilaku saya masih sama. Saya masih berada di Level Personality, level terendah dalam STIFIn, jauh dari gambaran terbaik seorang Insting.

Sahabat saya ini mengibaratkan dirinya sebagai seseorang yang berada di “teras rumah STIFIn”. Ia pernah masuk ke dalam rumah STIFIn namun lebih nyaman duduk di teras, tidak seperti beberapa orang lain yang meninggalkan STIFIn dengan kekecewaan. Ia bercerita bahwa banyak pegiat STIFIn yang hanya berhenti di Level Personality, menggambarkan kelemahan masing-masing Mesin Kecerdasan tanpa aksi konkret untuk memperbaiki diri.

Pernyataan sahabat saya ini membuat saya tersadar. Saya yang seharusnya mengelola STIFIn Institute, garda terdepan dalam menyebarluaskan STIFIn ke seluruh Indonesia, ternyata masih jauh dari praktek STIFIn yang sebenarnya. Saya baru sebatas hafal, belum menerapkan, menganalisa, dan mengembangkan diri. Saya lebih sering merasa hebat dibandingkan menjadi hebat.

Alhamdulillah, Allah masih sayang kepada saya dengan mengirimkan sahabat ini untuk menyadarkan saya. Kini, saya memulai hari dengan niat untuk menjadi seorang Insting yang berusaha menaikkan level kepribadian. Menjadi Insting yang sederhana, fokus pada kepentingan yang lebih besar, mementingkan orang lain, cepat tuntas, dan berperan aktif dalam program kemanusiaan. Semoga Allah memudahkan langkah dan upaya saya serta sahabat-sahabat saya para pegiat STIFIn untuk menjadi hebat. Aamiin.