Penulis: Nizar Dangkua
Rabu, 30 Mei 2024
Jakarta – Tes STIFIn bisa membantu kita mengenali siapa Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa), kok bisa? Jika sidik jari bukan merupakan sesuatu hal yang unik, maka tidak mungkin dunia kepolisian, bahkan CIA atau FBI menggunakannya sebagai hal yang penting untuk membedakan 1 individu dengan yang lainnya, bukan?
Istilah yang sering digunakan adalah dakstiloskopi, yaitu ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan identitas seseorang, dengan cara mengamati garis yang terdapat pada jari tangan dan telapak kaki.
Ilmu yang digunakan untuk menganalisa potensi dasar atau karakter manusia melalui sidik jari disebut dermatoglyphics. Ini juga yang menjadi dasar keilmuan yang digunakan oleh Konsep STIFIn yang diperkenalkan oleh Almarhum Farid Poniman. Di mana di dalam ilmu tersebut mempelajari pola guratan kulit atau sidik jari serta hubungannya dengan genetika manusia.
Dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli di bidang dermatoglyphics dan juga kedokteran tentang anatomi tubuh ditemukan fakta bahwa pola dari sidik jari tersebut bersifat genetik. Dapat dianalogikan sidik jari memiliki kode khusus dalam setiap diri manusia yang tidak dapat diubah, dan bahkan kode unik ini pun sudah muncul ketika janin berumur 13 – 24 minggu. Maka dari itu Konsep STIFIn menggunakan sidik jari untuk menganalisa potensi dari setiap manusia yang memang unik dan tidak sama antara 1 dengan yang lainnya. Hal ini diperkuat dengan penemuan oleh Dr. Rita Levi Montalcini dan Dr. Stanley Cohen menyatakan bahwa faktor pertumbuhan saraf di otak memiliki hubungan yang sangat erat dengan pertumbuhan jaringan kulit.
Lalu apa hubungannya melalui sidik jari (Tes STIFIn) dengan kita dapat makin mengenali Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa)? Dari penemuan kedua Doktor di atas dikatakan bahwa pertumbuhan jarigan kulit atau sidik jari (dermatoglyphics) berhubungan dengan otak, sementara otak manusia adalah pusat kendali dari setiap manusia yang merupakan ciptaan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Almarhum Farid Poniman dalam konsep STIFIn mengenalkan istilah Strata Genetik, di mana ada hal yang tidak diturunkan (unheredity), yaitu: jenis kelamin, belahan otak dominan (Mesin Kecerdasarn), selaput/lapisan otak dominan (Drive Kecerdasarn), dan Kapasitas Hardware (ukuran kepala/otak), sedangkan yang diturunkan (heredity) adalah golongan darah.
Konsep STIFIn sejalan dengan konsep fungsi dasar otak yang diperkenalkan oleh Carl Gustav Jung, tentang fungsi dasar otak: fungsi penginderaan (sensing), fungsi berpikir (thinking), fungsi merasa (feeling), dan fungsi intuisi (intuition).
Selain itu, Konsep STIFIn pun memperkuat konsep belahan otak yang ditemukan oleh Ned Herman, yang membagi otak menjadi 4 belahan, yaitu: Limbik Kiri, Limbik Kanan, Neokortek Kiri, dan Neokortek Kanan.
Akhirnya Konsep STIFIn, sejalan dan sebagai penyempurnaan dari 2 konsep di atas, serta konsep triune brain yang diperkenalkan oleh Paul Mclean, yang mengatakan bahwak otak mempunyai 3 bagian berdasarkan hasil evolusinya, yaitu: Otak Insani, Otak Mamalia, dan Otak Reptilia.
Ternyata masing – masing belahan otak tersebut, memiliki potensi dan karakter yang berbeda – beda, satu dengan yang lainnya. Di dalam Konsep STIFIn yang merupakan konsep penyempurna dari 3 konsep sebelumnya, membagi otak menjadi 5 bagian, yaitu: Sensing (S: Limbik Kiri/Otak Mamalia), Thinking (T; Neokorteks Kiri/Otak Insani), Intuiting (I; Neokorteks Kanan/Otak Insani), Feeling (F; Limbik Kanan/Otak Mamalia), dan Instinct (In; Mid Brain/Otak Reptilia)
Karena otak manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang sifatnya genetik, maka potensi yang diungkap melalui Tes STIFIn ini merupakan potensi asli dari setiap manusia alias bawaan lahir, sesuai kehendak dari Sang Pencipta.
Keywords:
#konsep STIFIn #tes STIFIn #potensi genetik # dermatoglyphics